Seputar Dapur
MAKNA DAN FILOSOFI TRADISI MAKAN KETUPAT DI HARI RAYA YANG PERLU KAMU KETAHUI

Diposting tanggal 30 April 2022 09:00
Lebaran menjadi momentum untuk berkumpul bersama keluarga besar. Salah satu yang tak terpisahkan dari perayaan ini biasanya adalah makan bersama. Hidangan yang identik menemani Lebaran adalah ketupat. Ketupat menjadi makanan yang selalu ada di meja makan di masa Lebaran. Terbungkus apik dengan janur berwarna hijau kekuningan, k Sajian ketupat saat lebaran menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Pegiat budaya dan pemuka agama Muhammad Sholehhuddin menjelaskan ketupat merupakan tradisi makanan di Jawa. Sunan Kalijaga yang pertama memperkenalkan ketupat. Ketupat menjadi simbol yang mudah dipahami masyarakat Jawaetupat sangat cocok dipadukan dengan masakan berkuah lainnya. Ketupat adalah makanan khas yang disajikan bertepatan hari raya Idul Fitri. Ketupat dimakan dengan berbagai lauk dan makanan pendamping lainnya seperti opor, sambal goreng kentang, maupun daging, dan sebagainya. radisi makan ketupat tersebar di seluruh Indonesia; Apalagi setiap daerah punya cara makan ketupatnya masing-masing. Ketupat sudah menjadi bagian dari budaya makanan Indonesia.
Dikutip dari Journal of Ethnic Foods (Science Direct, Maret 2018) dari Angelina Rianti dan koleganya, ketupat melambangkan permintaan maaf dan berkah. Bahan utama ketupat yakni nasi dan daun kelapa muda memiliki makna khusus. Nasi dianggap sebagai lambang nafsu, sedangkan daun berarti “jatining nur” (cahaya sejati) dalam Bahasa Jawa yang artinya hati nurani. Sehingga, ketupat digambarkan sebagai simbol nafsu dan hati nurani. Artinya, manusia harus bisa menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya. Dalam bahasa Sunda, ketupat disebut juga dengan “kupat,” yang artinya manusia tidak diperbolehkan untuk “ngupat,” yaitu membicarakan hal-hal buruk kepada orang lain. Selain itu, makna ketupat atau kupat juga diartikan sebagai “Jarwa dhosok”, yang juga berarti “ngaku lepat”. Dalam hal ini, di dalamnya terdapat pesan bahwa seseorang harus meminta maaf ketika mereka melakukan sesuatu yang salah. Untuk membuat ketupat dipilih janur yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pasisir. Sejarawan Belanda H. J. de Graaf, dalam Malay Annal of Semarang and Chrebon menyebut ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Saat Raden Fatah berkuasa. Secara antropologis, kata De Graaf, ketupat berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran.
Tingkah laku ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi pada saat hari pertama Syawal atau Idul Fitri. Nah, biasanya pada hari terakhir bulan puasa sudah mulai ditandai dengan makan ketupat beserta beberapa lauk pauk. Selain ngaku lepat, makna ketupat juga diartikan sebagai laku papat. Laku papat terdiri dari empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran yang artinya “lebar,” artinya pintu permintaan maaf telah dibuka lebar-lebar. Saat manusia mengampuni orang lain, mereka menerima banyak berkah. Kata “lebaran” juga berarti bulan puasa telah usai dan dirayakan dengan makan ketupat. Sementara luberan artinya “melimpah,” yang memberikan pesan untuk membagi hartanya dengan orang yang kurang beruntung melalui amal. Kemudian, leburan berarti saling memaafkan. Semua kesalahan bisa dimaafkan pada hari itu karena umat manusia dituntut untuk saling memaafkan. Terakhir, labur dalam bahasa laburan artinya orang suci dan bebas dari dosa manusia. Dalam hal ini, ketupat memberikan pesan untuk menjaga kejujuran diri. Oleh karena itu, setelah melakukan leburan (saling memaafkan), masyarakat harus mencerminkan sikap dan tindakan yang baik.
Ketupat memiliki beberapa filosofi, mulai dari bentuk anyaman hingga lauk ketupat. Anyaman rumit pembungkusnya menunjukkan kesalahan manusia. Sementara, isi ketupat yakni nasi yang berwarna putih mencerminkan kebersihan dan kesucian hati manusia setelah memaafkan orang lain. Selain itu, nasi putih diartikan sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan. Bentuk ketupat yakni persegi empat yang sempurna melambangkan kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa menjelang Idul Fitri. Bungkus hijau kekuningan dianggap sebagai salah satu penolakan bala atau penolakan nasib buruk. Dulu masyarakat agraria yang tersebar di Nusantara memiliki tradisi menggantung ketupat di tanduk kerbau untuk mewujudkan rasa syukur karena panen yang dihasilkan. Tak berhenti di situ, sampai sekarang juga masih ada tradisi dari masyarakat Indonesia yang melakukan tradisi yang sama dengan menggantungkan ketupat. Bedanya, mereka menggantungkan ketupat yang masih kosong di depan pintu rumah untuk menolak bala atau pengaruh negatif yang masuk. Sementara di Melayu disebut ketupat. Masyarakat Bali juga mengenal makanan ini dengan nama tipat. Pada wilayah lain ada juga yang menyebutnya ketumpat